Tuan Guru Kiai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid ternyata belajar dari madrasah yang sama dengan Kiai Haji Hasyim Asy’ari dan Kiai Haji Ahmad Dahlan. |
Madrasah ash-Shaulatiyah merupakan salah satu madrasah legendaris di
Tanah Suci. Didirikan pada 1219 H oleh seorang ulama besar imigran
India, Syekh Rahmatullah Ibnu Khalil al-Hindi al-Dahlawi. Tercatat
sebagai madrasah pertama dalam dunia pendidikan di Arab Saudi, sehingga
gaungnya menggema ke seluruh dunia.
Madrasah ini menghasilkan ulama-ulama besar dunia, termasuk dari
Indonesia. Kiai Haji Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah; dan Kiai Haji
Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama (NU), adalah jebolan madrasah
tersebut.
“Tuan Guru Kiai Haji (TGKH) Muhammad Zainuddin Abdul Madjid, pendiri
Nahdlatul Wathan (NW), mengikuti jejak Kiai Haji Ahmad Dahlan dan Kiai
Haji Hasyim Asy’ari berguru di tempat yang sama,” kata cendekiawan
Muslim Azyumardi Azra dalam buku Renaisanse Islam Asia Tenggara.
TGKH Zainuddin Abdul Madjid atau dikenal juga dengan julukan Kiai
Hamzanwadi, masuk Madrasah Shaulatiyah pada 1345 H atau 1927 M. Saat itu
sebagai mudir atau direkturnya adalah Syekh Salim Rahmatullah. Ia merupakan cucu pendiri Madrasah ash-Shaulatiyah.
Karena itu, ada hubungan historis antara Muhammadiyah, NU, dan NW di
Indonesia karena basis ilmu pendirinya sama-sama dari almamater Madrasah
Shaulatiyah. Maka, apa yang diajarkan di sekolah-sekolah Muhammadiyah
dan Nahdlatul Ulama, diajarkan pula di sekolah-sekolah Nahdlatul Wathan.
Shaulatiyah merupakan madrasah tradisional di tengah deru pembaruan
pendidikan di Hijaz yang dilancarkan Dinasti Utsmani. Madrasah ini
didirikan Syekh Muhammad Rahmat Allah dari Delhi, India, sehingga sering
diasosiakan dengan Muslimin Anak Benua India.
Namun, nyatanya murid terbanyak justru dari Jawi (Jawa, Indonesia).
“Kampus kancah anak-anak Jawi,” kata Faisal Abd Allah al-Aqawi, dalam
buku At Ta’lim al-Ahli li al-Banin Makkah al-Mukarramah (1404/1984).
Madrasah ini berkembang pesat dan maju ketika Muhammad Zainuddin
mulai menginjakkan kaki di sekolah tersebut. Pada hari pertama, ia
langsung bertemu dengan Syekh Hasan Muhammad al-Masysyath. Inilah
gurunya yang paling dekat dengannya. Ia juga bertemu Syekh Sayyid
Muhammad Amin al-Quthbi.
Para gurunya menilai Zainuddin memiliki ketekunan tinggi dalam
belajar. Beberapa guru mengakuinya sebagai murid yang tergolong cerdas.
Syekh Salim Rahmatullah selalu mempercayakan kepadanya untuk menghadapi
penilik madrasah Pemerintah Arabi Saudi yang sering kali datang ke
madrasah. Penilik madrasah adalah penganut paham Wahabi.
“Dan Zainuddin, satu-satunya murid Madrasah ash-Shaulatiyah yang
dianggap menguasai paham Wahabi dan ia selalu berhasil menjawab
pertanyaan penilik itu dengan memuaskan,” kata seorang teman sekelasnya,
Syekh Zakariyah Abdullah Bila, ulama besar di Tanah Suci Makkah.
Ketekunannya dalam belajar juga diakui Syekh Ismā’il Zain Al-Yamani.
Ia mengagumi Syekh Zainuddin karena sangat cerdas dan akhlaknya mulia.
Zainuddin berhasil meraih peringkat pertama dan juara umum. Ia berhasil
menyelesaikan studinya dalam kurun waktu enam tahun. Padahal, lama
belajar normal adalah sembilan tahun.
TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid, kelahiran 19 April 1898,
berhasil menyelesaikan studinya di Madrasah ash-Shaulatiyah Makkah pada
1351 H atau 1933 M, dengan predikat istimewa (mumtâz). Predikat istimewa disertai perlakuan yang istimewa dari Madrasah ash-Shaulatiyah.
Ijazahnya ditulis tangan langsung oleh seorang ahli khath
terkenal di Makkah saat itu, yaitu al-Khaththath asy-Syaikh Dawud
ar-Rumani atas usul dari Direktur Madrasah ash-Shaulatiyah. Kemudian,
ijazah tersebut diserahterimakan kepadanya pada 22 Dzulhijah 1353 H.
Hal tersebut tidak lazim dalam tradisi madrasah tersebut sepanjang
zaman. Khusus untuk Zainuddin dicantumkan langsung gelar yang melekat
pada pemilik ijazah ini: al-Akh al-Fadhil al-Mahir al-Kamil al-Syaikh
Muhammad Zainuddin Abdul Madjid Alanfanany (Saudara yang Mulia, sang
Genius sempurna, Guru Terhormat Zainuddin Abdul Madjid). Bahkan sebagian
guru besar Zainuddin menyebutnya sibawaihi zamaanihi (Yang tak tertandingi).
Semua nilai ijazahnya 10 untuk seluruh mata pelajaran, bahkan
dibubuhi tanda bintang dalam setiap nilainya. Mudir madrasah tersebut,
saat itu Maulana Syaikh Salim Rahmatullah, generasi ketiga dari pendiri
madrasah tersebut, punya penilaian tersendiri. “Cukup satu saja murid
madrasah ini asalkan seperti Zainuddin yang semua jawabannya menggunakan
syair, termasuk ilmu falak yang sulit sekalipun,” seperti terungkap
dalam buku H Abdul Aziz Sukarnawadi, As-Sabtu al-Fariid Fii Asaanidid as-Syeikh Ibnu Abdil Madjid, (Demak Jawa Tengah: Maktabah; Tuuras Ulama Nusantara, 2017).
Ijazahnya ditandatangani delapan guru besar madrasah, sesuatu yang tidak lazim. Predikatnya syahadah ma’a addarajah assyaraf alulaa atau lebih tinggi dari summa cum laude.
Sedangkan, Sayid Muhammad ‘Alawi ‘Abbas al-Māliki al-Makki, seorang
ulama terkemuka kota suci Makkah, mengatakan, tak ada seorang pun ahli
ilmu di Tanah Suci Makkah, baik thullāb maupun ulama yang tidak mengenal tingginya ilmu Syekh Zainuddin.
“Syekh Zainuddin seorang ulama besar, bukan hanya milik umat Islam
Indonesia, tetapi juga milik umat Islam sedunia,” seperti tertulis dalam
buku H Abdul Hayyi Nu’man dkk. Nahdlatul Wathan Organisasi Pendidikan, Sosial, dan Dakwah Islamiyah (Selong: PD NW Lombok Timur, 1988).
Beruntung dan berbanggalah organisasi massa Islam Nahdlatul Wathan,
karena sang pendiri merupakan ulama dengan kualitas ilmu yang sangat
tinggi, syahadah ma’a addarajah assyaraf alulaa atau lebih tinggi dari predikat summa cum laude.
Oleh: Selamat Ginting, wartawan senior Republika
Sumber : Di sini
0 comments:
Post a Comment
Berikan komentar dengan bahasa sopan dan jelas!
Anda sopan, kami pun segan.