Pagi itu, suasana cerah cemerlang. Suasana pagi diringi lantunan doa
yang membahana hingga ke luar angkasa. Doa yang tidak pernah
mendatangkan kebosanan, justru dapat menghadirkan kekhusyu'an dalam hati
para pendoanya ketika terlafazkan.
Iya, seperti biasa dan merupakan tradisi para penuntut ilmu yang berbalut warna putih mulai dari kopiah, baju hingga sarung, berdoa secara berjama'ah. Mereka adalah Thullab (penuntut ilmu laki-laki) dan Tholibat (penuntut ilmu perempuan) Ma'had Darul Qur'an wal Hadits al-Majidiyyah asy-Syafi'iyyah Nahdlatul Wathan Pancor Lombok Timur. Doa yang dibaca adalah doa yang telah diajarkan oleh Sang Maulana dan menjadi rutinitas setiap pagi sebelum pengajian pagi dimulai. Hingga kini tradisi tersebut tetap lestari di kalangan Thullab dan Tholibat Ma'had sembari menunggu kedatangan Masyaikh yang akan memberikan materi pengajian pagi hingga pukul 10 pagi setiap hari.
Kala
itu pengajian pagi akan diisi oleh Maulana al-Syaikh TGKH. Muhammad
Zainuddin Abdul Madjid al-Anfananiy. Para Thullab mempersiapkan dengan
cukup cermat dan teliti tempat duduk yang akan diduduki oleh Sang
Maulana. Hingga tidak luput dari usaha para Thullab untuk "tabarrukan" (mengambil
barokah) dari tempat duduk Sang Maulana. Sajadah demi sajadah disusun
rapi di kursi tempat duduk Sang Maulana, hingga membentuk tumpukan yang
tebal dan empuk. Shal (kain tenun impor) berwarna hijau, shal kebanggaan
Thullab Ma'had juga tidak mau kalah ikut andil dalam tumpukan sajadah
tersebut. Rapilah sudah, tempat duduk yang sudah dipersiapkan untuk
seoarang Ulama Besar yang akan mentransfer ilmunya kepada para Thullab
dan Tholibat Ma'had.
Doa sudah usai dilantunkan. Suara terdengung keras dari salah seorang Tholib Ma'had mengucapkan "ihtiroom!!!"
(beri hormat_red) mengiringi kerauhan (kedatangan) Sang Maulana di
Mushalla al-Abror. Para Thullab dan Tholibat semua berdiri tanpa
terkecuali sebagai bentuk takzim (penghormatan) terhadap kehadiran
al-Syaikh. Ini merupakan tradisi di dalam perguruan Nahdlatul Wathan,
yaitu ketika datang seorang guru maka harus disambut dengan ucapan "ihtirom" kemudian ditutup dengan ucapan "hayyu" oleh salah seorang di dalam majelis tersebut yang kemudian diakhiri oleh semua yang hadir dalam majelis tersebut dengan ucapan:
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته ومغفرته ورضوانه
"Assalaamu'alaikum warohmatulloohi wabarokaatuhu wa maghfirotuhu wa ridlwaanuhu"
Lalu dijawablah salam para Thullab tersebut oleh Sang Maulana.
Ketika
itu juga semua Thullab kembali duduk dengan rapi di tempat
masing-masing dan siap-siap mendengarkan pengajian yang akan dibawakan
oleh Guru Tercinta, Sang Maulana.
Semua Thullab sudah duduk di
tempat masing-masing pertanda pengajian pagi akan dimulai, Sang Maulana
masih berdiri di depan kursi yang telah dipersiapkan dengan rapi oleh
para Thullab sembari melihat ke arah kursi yang akan beliau duduki.
Beliau masih belum mau menduduki kursi tersebut. Para Thullab khawatir
bercampur perasaan bertanya-tanya dalam hati, ada apa gerangan yang
menyebabkan beliau tidak mau menduduki kursi tersebut. Perasaan was-was
berbaur dengan rasa bersalah. Pasti ada sesuatu yang menyebabkan beliau
tidak kayun (mau) duduk di kursi tersebut, gumam dalam hati masing-masing Thullab.
Ternyata dan ternyata, ada sebab mengapa beliau tidak mau menduduki kursi tersebut. "Ndeq ku mele nokolin sajadah si araq tanda salib ne" (Saya
tidak mau menduduki sajadah yang ada tanda salibnya), ucap beliau yang
membuat sontak kaget para Thullab yang telah menyusun rapi sajadah
tersebut. Dengan gegap gempita, beberapa Thullab segera beranjak dari
tempat duduknya lalu membongkar satu per satu sajadah yang telah disusun
rapi tersebut.
Hati bergumam, pikiran tak karuan, perasaan tak
tentu arah Thullab tersebut sambil membongkar helai demi helai kain
sajadah dari atas hingga paling bawah. Sontak tercengang, ketika Thullab
tersebut menemukan sehelai kain sajadah dengan motif yang terdapat
tanda salib pada sajadah tersebut di urutan paling bawah. Lalu
diambillah sajadah tersebut, kemudian disusun sajadah yang telah
dibongkar tadi dengan rapi kembali. Sang Maulana kali ini langsung mau
menduduki kursi tersebut setelah sajadah yang bermotif tanda salib
tersebut disingkirkan. Entah siapa yang punya pekerjaan, apa disengaja
atau tidak, yang jelas Sang Maulana mengetahui bahwa terdapat tanda
salib di tempat duduknya.
Kejadian ini bersumber dan dialami
langsung oleh seorang Alumni Ma'had Darul Qur'an wal Hadits pada tahun
1995 ketika masih duduk di tingkat 4 Ma'had dan pada saat ini beliau
berdomisili di Provinsi Sulawesi Tenggara dan beliau juga sebagai
Pendiri Pondok Pesantren Darul Ulum Nahdlatul Wathan Sulawesi Tenggara
sekaligus sebagai Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Wathan Provinsi
Sulawesi Tenggara, al-Ustadz Jamhuri Karim, QH., S.Sos.I.
Hikmah
yang dapat dipetik dari kejadian tersebut adalah bahwa seorang
Waliyullah diberi kemampuan oleh Allah SWT untuk melihat sesuatu yang
tidak mampu dilihat secara kasat mata menurut pandangan orang awam.
Seorang Waliyullah diberikan kemampuan mukasyafah, kemampuan melihat dengan mata bathin atas kejadian-kejadian yang akan terjadi pada masa yang akan datang.
Wallohu A'lam.
0 comments:
Post a Comment
Berikan komentar dengan bahasa sopan dan jelas!
Anda sopan, kami pun segan.